Senin, 09 November 2009

SERAHKAN SUATU URUSAN PADA AHLINYA

Menyimak berbagai pemberitaan tentang sepak terjang Tim Independen Pencari Fakta kasus Pimpinan KPK non aktif (Bibit dan Chandra) atau Tim 8, membuat hati miris. Sebagai praktisi yang cukup memahami mekanisme prosedural hukum (hukum acara) saya sering galau. Tim tersebut tidak seorangpun beranggotakan Hukum Pidana. Yang benar-benar berlatar belakang hukum hanya Todung Mulya Lubis, Adnan Buyung, Amir Syamsuddin, Deni Indrayana dan Hikmahanto. Persoalan latar belakang ini menjadi penting karena perkara ini adalah perkara pidana murni.

Tadinya saya berpendapat bahwa tim ini hanya akan mengkaji persoalan politis dari suatu kebijakan penegak hukum. Namun ternyata Tim ini ikut “mengintervensi” teknis penyidikan dan pra penuntutan. Mulai dari mekanisme penangkapan, penahanan, pemeriksaan hingga tahap penelitian berkas. Oke, mungkin Pak Todung, Bang Adnan dan Pak Amir pernah berkecimpung di dunia tersebut. Namun persoalannya, aspek pemberkasan hingga pembuktian dan pemidanaan membutuhkan seorang ahli yang mestinya bersifat supra dari pihak yang harus diperiksanya.

Dalam memahami persoalan pidana, tentu saja cara pandang seorang ahli hukum pidana akan sangat berbeda dengan cara pandang seorang ahli hukum internasional. Demikian pula cara pandang seorang teoretis akan sangat berbeda dengan praktisi. Perbedaan cara pandang dalam memahami persoalan ini akan berdampak pada output yang dihasilkannya.

Seorang ahli hukum pidana akan selalu berpijak pada fakta yuridis dan mengesampingkan asumsi dan wacana yang tidak berdasar. Pemahaman terhadap proses pidana sejak zaman klasik Beccaria penuh sejarah panjang. Istilah-istilah seperti Kriminalisasi, mekanisme pemuktian, fakta hukum, pemerasan, penyuapan, boleh jadi berbeda antara pemahaman seorang ahli hukum pidana dengan orang lain.

Olehnya itu, ada baiknya kita bersabar sambil berupaya agar proses ini berujung di Pengadilan. Perang wacana yang hanya didasari bukti sepihak sebaiknya disudahi. Demikian pula asumsi atau upaya menyalahkan pendapat orang lain harus dihentikan. Biarlah Pengadilan yang akan memutuskan benar salahnya.

Demikian pula dengan TPF, pahamilah posisi dan latar belakang anda. Silahkan bekerja sesuai dengan perintah yang anda terima. Tapi ingat, jangan merusak tatanan hukum acara yang berlaku karena itu akan menjadi pintu gerbang lahirnya upaya-upaya menyimpangi hukum acara pada waktu yang akan datang.

Kamis, 05 November 2009

KEKUATAN DAN TANGGUNG JAWAB (catatan kecil pasca sidang Mahkamah Konstitusi)

Peter Parker dilanda kesedihan tiada tara. Sang Paman Ben Parker yang selama ini menjadi pengganti orang tuanya harus berpulang akibat penembakan yang dilakukan seorang penjahat jalanan. Berbagai kemungkinan berseliweran dalam pikirannya, mulai dari yang paling radikal seperti ingin bunuh diri hingga yang paling moderat dengan bersiap apatis atau tidak mau tahu. Ia sedang mempelajari berbagai kemungkinan itu namun tetap tidak satupun yang menenangkan pikirannya. Setelah melewati hari-hari yang panjang dan membosankan ditingkah berbagai situasi yang membutuhkan respons segera, akhirnya ia menemukan jawab atas pencariannya. Peter Parker menemukan jawabnya di dalam dirinya sendiri. Sebait kalimat Uncle Ben dalam perjumpaan terakhirnya mengingatkan Peter Parker pada berbagai pencapaian dalam hidupnya. Great power create a great responsibility. Kekuatan yang besar menciptakan tanggung jawab yang besar pula.

Kisah tersebut hanya terjadi dalam film. Peter Parker dalam cerita tersebut adalah tubuh biologis dari apa yang dikenal orang sebagai Spiderman (manusia laba-laba). Momen pencarian diri seperti itu lazim ditemukan dalam berbagai karya seni dari negara-negara barat. Setiap langkah besar ke depan selalu diawali dengan proses mempertanyakan diri dan sekitarnya. Hal itu perlu dilakukan sebagai batu loncatan (jumping stone) agar setiap loncatan ke depan berhasil dilakukan dengan akurasi dan keberhasilan sesuai prediksi.

Kisah Peter Parker tersebut terus menggelayuti pikiran ketika menyaksikan debat antara Pemohon, Termohon, Pihak yang berkepentingan dan Ahli dalam sidang Uji Materil UU KPK di Mahkamah Konstitusi pada Rabu 4 Nopember 2009. Walaupun hanya menyaksikan dari layar kaca sebuah televisi nasional (yang sering terputus oleh iklan) terdapat poin penting yang pantas menjadi perenungan bersama dan penting bagi perjalanan bangsa kita ke depan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurut konsideran Undang-Undang KPK dibentuk atas dasar lemahnya kinerja dan kepuasan masyarakat atas dua institusi terdepan pemberantasan korupsi negeri ini, Kepolisian dan Kejaksaan. Meskipun tidak ada indikator atau angka-angka yang jelas sejauhmana kelemahan kinerja kedua lembaga tersebut, institusi KPK telah menjadi bagian dari sistem penegakan hukum kita.

KPK sering diidentikkan dengan lembaga super body. Ia memiliki kewenangan yang luar biasa sehingga mampu mengumpulkan kewenangan Polisi sebagai Penyidik dan kewenangan Jaksa sebagai Penuntut Umum. KPK juga berhak melakukan supervisi dan bahkan dapat mengambil alih penyidikan dan penuntutan dari tangan Polisi dan Kejaksaan. KPK tidak membutuhkan izin dari Pemerintah bila hendak memeriksa seorang pejabat publik atau izin dari Gubernur BI saat menelisik posisi dana seseorang dari berbagai lembaga keuangan. Para pegawainya digaji dengan angka-angka yang setara dengan pejabat eselon di departemen negara. Biaya penanganan perkara yang terhitung besar siap mendukung berbagai upaya pengungkapan kasus. Belum terhitung berbagai kewenangan seperti auditing, penyadapan, penyitaan, penggeledahan, penahanan yang jika dihitung-hitung sebenarnya merupakan gabungan kewenangan berbagai lembaga hukum di negeri ini.

Sampai pada titik itu tidak ada pertanyaan dari publik khususnya menyangkut berbagai kewenangan yang dimiliki KPK. Setiap upaya judicial review dari UU KPK oleh beberapa warga bangsa bahkan diartikan sebagai upaya para koruptor untuk memperlemah kinerja KPK yang sering diistilahkan Corruptor fights back. Bahkan berkembang pemikiran di masyarakat bahwa mempertanyakan kewenangan KPK adalah cerminan dari sikap yang tidak pro pada pemberantasan korupsi. Masyarakat telah terhegemoni dengan sederet keberhasilan penanganan kasus dan berita-berita positif yang sering dimuat oleh berbagai pemberitaan.

Secara obyektif, kita bangga pada KPK. Keberhasilan dan pencapaian dalam setiap langkah KPK adalah keberhasilan seluruh warga bangsa dalam memerangi perilaku tindak pidana korupsi. Sebagai sesuatu yang disebut ‘extra ordinary crime’, korupsi memang harus jadi musuh bersama seluruh masyarakat. Tentu saja kita semua tetap berharap KPK akan melanjutkan trend positif penegakan hukum di tahun-tahun mendatang.

Dalam harapan untuk keberhasilan KPK tersebutlah persidangan Mahkamah Konstitusi dengan bahasan judicial review Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK menjadi sangat penting. Persidangan tersebut sudah sampai pada tahap pembahasan norma yang sangat fundamental dalam hukum. Norma Praduga tak bersalah (The presumption of Innoncence).

Pemohon (pihak Bibit-Chandra) mendalilkan bahwa Pasal Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK telah menjadi pukulan berat bagi mereka karena penonaktifan tersebut sama artinya dengan menyatakan bahwa mereka telah bersalah sebelum perkara pokoknya disidangkan. Intinya, mereka beranggapan Norma Praduga tak bersalah dalam perkara mereka telah dicederai. Pemohon juga membandingkan Pasal tersebut dengan berbagai peraturan perundang-undangan lain yang pada pokoknya menegaskan bahwa pemberhentian baru dilakukan setelah ada putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap.

Sedangkan pihak Menkumham selaku wakil Pemerintah menegaskan bahwa Pasal tersebut semata-mata dilakukan hanya untuk melindungi personel pimpinan KPK sekaligus menjaga institusi agar tetap terpelihara dari berbagai kemungkinan yang dapat menurunkan citra dan kewibawaan institusi.

Pihak ahli (Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Rudi Satriyo) lebih banyak membahas perjalanan norma Praduga tak bersalah dalam berbagai sistem hukum, sejak mulai dari Magna Charta, Bill of Rights hingga ke Rancangan KUHP.

Dalam tulisan kecil ini tidak akan dibahas proposisi mana yang benar dan mana yang salah, sebagai penghargaan terhadap para pihak yang bersidang. Bagaimanapun para pihak tersebut adalah pendekar-pendekar hukum nasional yang telah lama malang melintang di jagat persidangan. Biarlah Majelis Hakim Konstitusi yang memutuskan apa yang terbaik bagi bangsa ini ke depan.

Demikian pula dengan saya sebagai masyarakat awam, cukuplah menunggu putusan Hakim sambil mengenang film Spiderman berikut hasil pencarian Peter Parker. Great power create a great responsibility. Kekuatan yang besar menciptakan tanggung jawab yang besar pula.

Minggu, 26 Juli 2009

QUO VADIS KEJAKSAAN TINGGI SULTRA ? (Refleksi Hari Hari Bakti Adhyaksa, 22 Juli 2009)

Kejaksaan RI kembali berulang tahun yang ke-49 pada hari Rabu 22 Juli 2009. Hari Ulang Tahun Kejaksaan atau lazim dikenal sebagai Hari Bakti Adhyaksa tahun ini menjadi sangat penting di tengah karut marut penegakan hukum di tanah air.

Kali ini Hari Ulang Tahun Kejaksaan mengambil tema : “ Melalui Hari Bhakti Adhyaksa 2009, kita songsong reformasi birokrasi Kejaksaan menuju terwujudnya aparat Kejaksaan yang profesional dan berintegritas moral yang tangguh “.

Pada bagian penjelasan UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, disebutkan bahwa Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Oleh karena itu perlu dilakukan penataan kembali terhadap Kejaksaan untuk menyesuaikan dengan perubahan-perubahan tersebut di atas.

Dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus mampu mewujudkan kepastian hukum, ketertiban hukum, keadilan dan kebenaran berdasarkan hukum dan mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, dan kesusilaan, serta wajib menggali nilai-nilai kemanusiaan, hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Dalam mitologi Yunani, awal tahun disimbolkan dengan Dewa Janus. Dari nama dewa itulah kemudian lahir istilah Januari. Dewa Janus memiliki dua wajah. Yang satu menghadap ke depan, satunya lagi menghadap ke belakang. Kedua wajah tersebut mengandung perlambang unik. Pada setiap pergantian tahun, manusia memiliki kesempatan untuk melihat kebelakang merenungkan apa yang telah dilakukannya kemudian menghadap ke depan sembari menempatkan keinginan dan harapan yang akan diraihnya pada tahun berikutnya;

Dengan falsafah seperti itu pula kita memaknai Hari Bhakti Adhyaksa tahun ini. Tahun 2008 - 2009 telah memberi banyak hal dalam perjalanan sejarah Kejaksaan RI khususnya Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara. Di bawah kendali TIMBANG HUTAURUK, SH Kejaksaan Tinggi Sultra telah berupaya mentransformasikan diri menuju ke arah yang menjadi harapan publik. Sayangnya espektasi masyarakat Sultra terhadap kinerja Kejaksaan sendiri terlampau besar sehingga dalam beberapa hal menimbulkan gesekan antara masyarakat dan warga adhyaksa. Penyampaian pendapat dengan cara demonstrasi yang beberapa diantaranya berujung anarki di satu sisi dapat mengindikasikan besarnya perhatian publik terhadap institusi ini. Sayangnya cara penyampaian yang terlalu “bersungguh-sungguh” tersebut disisi lain malah menjadi bumerang. Substansi permasalahan yang jauh lebih penting seringkali tertutupi oleh mekanisme penyampaian. Masyarakat hanya mengetahui bahwa terjadi sesuatu dalam relasi antara pengunjuk rasa dan warga adhyaksa tanpa memahami adanya hal yang lebih substansif dalam relasi tersebut.

Dalam kaitan dengan penyampaian pendapat ini, perlu dirumuskan kembali suatu metode penyampaian pendapat yang lebih bernas, mencerahkan dan berdasar hukum pembuktian. Para pengunjuk rasa disatu pihak dan warga Adhyaksa di pihak lain pada dasarnya memiliki kesamaan tujuan yaitu tercitanya sistem pemerintahan yang good governance.

Hal lain yang menjadi catatan dalam upaya introspeksi Kejaksaan adalah adanya gap data yang terjadi antara Kejaksaan di daerah dan di Kejaksaan Agung. Dalam hal ini, penting untuk dicatat hadirnya Tim Supervisi dan akuratisasi data dari Kejaksaan Agung di Sultra. Dari hasil komparasi data tersebut nampak bahwa sebagian kinerja Kejaksaan di Sultra tidak atau belum tercatat di Kejaksaan Agung. Ini terkesan agak aneh karena Kejaksaan Tinggi Sultra senantiasa melakukan mekanisme pelaporan terhadap setiap kasus yang ditangani secara berjenjang. Dengan adanya komparasi data tersebut, kesamaan pandangan dan pemahaman lebih terkoordinasi kembali. Atas dasar tersebut pula Kejaksaan Agung meluncurkan program akuntabilitas dan transparasi penanganan perkara melalui dunia maya/website yang juga mencakupi wilayah Kejati Sultra.

Masih banyak hal lain yang dapat diangkat dalam setahun kebelakang usia Kejaksaan, namun apapun itu, Kejaksaan telah berusaha merespon upaya-upaya reformasi institusi yang bermuara pada terciptanya institusi yang tangguh, mandiri dan profesional;

Dengan harapan tersebut, Kejaksaan Tinggi Sultra dibawah pimpinan yang baru Dr. FAHMI, SH. MH mencoba menunjukkan eksistensinya. Gebrakan yang dilakukannya sejak resmi berkantor di Kendari mulai menunjukkan hasil. Kejaksaan dengan berani melakukan tindakan penahanan terhadap beberapa tersangka yang selama ini melenggang santai di ruang publik.

Tentu terlalu naif mengukur kinerja seseorang dari keberadaan yang belum seumur jagung. Namun dengan trek rekord yang panjang dalam dunia penegakan hukum, para pencari keadilan (justitiabelen) bolehlah berharap banyak. Kajati Sultra yang baru ini memiliki pemahaman yang mumpuni di ruang sidang, juga secara teoritis diakui oleh dunia akademik hingga strata tiga;

Upaya penanganan perkara yang murni didasarkan pada hal-hal bersifat yuridis harus didukung bersama. Upaya penangkapan, penahanan, penyitaaan ataupun penggeledahan haruslah dipahami sebagai pengejawantahan suatu kewenangan yang digariskan KUHAP.

Publik harusah memberikan apresiasi positif sembari memantau dan melakukan pengawasan terhadap kinerja aparat Kejaksaan secara keseluruhan. Ini penting karena personil Kejaksaan juga bersifat manusiawi yang rentan godaan dan iming-iming. Harapan publik ke depan haruslah senantiasa dinisbahkan pada independensi Kejaksaan yang mandiri dan profesional;

Dalam khasanah penegakan hukum di negara manapun yang mengklaim diri sebagai negara demokrasi, Kejaksaan selalu hadir sebagai penopang pilar negara. Kejaksaan adalah institusi permanen yang keberadaannya bersifat mandiri dan tidak bergantung.

Dalam konteks demikian kita semua berharap reformasi birokrasi Kejaksaan dapat terlaksana sehingga personil Kejaksaan dapat lebih tenang dan tegas melaksanakan fungsinya. Dengan berlandaskan pada ketentuan Undang-undang, aparat Kejaksaan yang profesional dan berintegritas moral yang tangguh dapat segera terwujud dan tidak hanya tinggal di alam idea. Selamat Hari Bhakti Adyaksa ke-49.

Rabu, 17 Juni 2009

Korupsi tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Surat Kabar Harian Kendari Pos hari Selasa (16/6) memaparkan berita tentang dugaan korupsi pada pengadaan alat-alat kesehatan di Dinas Kesehatan Kab. Kolaka. Dalam berita tersebut juga dipaparkan pandangan saya tentang mekanisme pengadaan alat-alat kesehatan dimaksud sesuai Keppres No. 80 tahun 2003.

Sesungguhnya wawancara tentang dugaan korupsi pada Dinas Kesehatan Kab. Kolaka tersebut tidak dilakukan secara khusus sebagaimana tertulis dalam koran. Yang ada adalah tukar pikiran sembari ngobrol tentang Mekanisme Pengadaan barang dan jasa Pemerintah secara umum dengan mengacu kepada Keppres No. 80 tahun 2003. Untuk itu saya akan memaparkan kembali sharing pikiran antara saya dan wartawan tersebut agar tidak menimbulkan pemahaman atau penafsiran lain.

Tentu saja ini bukanlah pendapat institusi melainkan sekedar pendapat pribadi yang lahir dan didasari oleh kedangkalan pemahaman dan pengetahuan saya.

Mekanisme Pengadaan barang dan jasa pemerintah diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah No. 80 tahun 2003. PP tersebut juga mengatur secara khusus bahwa pelaksanaan pengadaan barang dan jasa dilakukan dalam suatu tahun anggaran yang menginduk kepada tahun kalender. Artinya, tahun anggaran bermula di bulan Januari dan berakhir pada bulan Desember.

Dalam kondisi biasa, pekerjaan yang tidak selesai pada tahun anggaran berjalan, akan dibayar sesuai dengan prestasinya sembari dianggarkan kembali kelanjutannya pada anggaran berikutnya (DIPDA Lanjutan).

Meskipun para pihak yang menandatangani kontrak (Pimpro/Pejabat Pembuat Komitmen dan Kontraktor/Pelaksana Pekerjaan) telah bersepakat bahwa pekerjaan akan dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu yang termasuk dalam kalender tahun berjalan, tetap saja ada halangan-halangan yang muncul diluar kemampuan dan kekuasaan mereka;

Halangan-halangan tersebut biasanya telah diantisipasi dalam kontrak yang dibuat dalam klausul tersendiri. Halangan tersebut bisa saja hadir karena alasan force majeur (maaf kalau salah ejaan !) seperti, adanya krisis yang berimbas pada kenaikan harga ataupun pengaruh alam atau faktor cuaca.

Bilamana pengadaan barang atau jasa tersebut terkendala oleh faktor alam seperti cuaca yang tidak bersahabat sedangkan barang yang dipesan tersebut telah dibeli di luar daerah tentu akan menjadi hambatan dalam kaitannya dengan waktu pelaksanaan pekerjaan (akhir tahun anggaran). Untuk itu biasanya dan memang seyogyanya, kendala seperti itu dimasukkan ke dalam pos SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) untuk kemudian dialihkan menjadi hutang Pemda tahun anggaran berikutnya. Secara logika ini dapat dipahami karena barang yang dipesan tersebut baru akan hadir/datang pada TA berikutnya;

Minggu, 14 Juni 2009

Apa yang salah dengan dakwaan Prita ?


Dalam Surat Dakwaan tertanggal 20 Mei 2009, Prita Mulyasari didakwa di PN Tangerang dengan Dakwaan Alternatif yaitu Dakwaan Kesatu Pasal 45 ayat (1) jo. pasal 27 ayat (3) UU RI No. 11 Tahun 2008, ATAU Kedua Pasal 310 ayat (2) KUHP, ATAU Ketiga Pasal 311 ayat (1) KUHP. Inti Dakwaan Alternatif seperti ini adalah bahwa terdakwa dianggap hanya melakukan satu jenis perbuatan pidana namun memenuhi rumusan unsur beberapa pasal yang diancamkan. Dengan demikian logikanya, ketika akan membuat Surat Tuntutan, JPU akan memilih salah satu Pasal (dari ketiga pasal yang diancamkan) yang paling bersesuaian dengan fakta persidangan untuk dikenakan kepada Terdakwa.

Dari ketiga Pasal tersebut, Pasal 45 ayat (1) jo. pasal 27 ayat (3) UU RI No. 11 Tahun 2008 atau lazim dikenal dengan sebutan UU ITE (Informasi Dan Transaksi Elektronik) memiliki ancaman yang tertinggi yaitu paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Sedangkan Pasal 310 (2) ancamannya 1 tahun dan 4 bulan dan Pasal 311 (1) KUHP ancamannya 4 tahun;

Rumusan unsur Pasal 45 ayat (1) jo. pasal 27 ayat (3) UU RI No. 11 Tahun 2008 yaitu Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Dari rumusan pasal tersebut, terlihat bahwa Pasal 45 UU RI No. 11 ini sebenarnya adalah Pasal sapu jagat. Tidak ada pembatasan dalam pasal ini seperti apa yang dimaksud dengan distribusi ataupun transmisi juga penjelasan tentang dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik. UU hanya mensyaratkan adanya muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Terkait dengan penghinaan ini, Soesilo menyatakan bahwa Menghina adalah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Yang diserang itu biasanya merasa malu.

Oleh karena itu, bilamana dalam berkas perkara dari Penyidik sudah mencantumkan bahwa dr. Hengky Gosal, Sp.PD dan dr. Grace H Yarlen Nela merasa malu akibat perbuatan terdakwa Prita, cukuplah kiranya alasan bagi JPU mendakwa dengan Pasal 45 ayat (1) jo. pasal 27 ayat (3) UU RI No. 11 Tahun 2008. Bahwa JPU kemudian melakukan penahanan karena ancamannya diatas 5 tahun juga tidak dapat dipersalahkan. Alasan-alasan penahanan sesuai Pasal 21 KUHAP (dikhawatirkan melarikan diri, menghilangkan barang bukti dan mengulangi tindak pidana) juga sangat subyektif tergantung pendapat dari JPU yang bersangkutan.

Kalau sudah demikian, apa yang salah dengan Dakwaan Prita ?

Sabtu, 13 Juni 2009

Klaim Keberhasilan

Upaya menuju kursi kekuasaan acap kali dilakukan dengan berbagai cara. Sejumlah klaim keberhasilan seringkali dimunculkan ke permukaan hanya untuk menegaskan diri sebagai pihak yang berada di baliknya. Uniknya, klaim-klaim itu dibuat sedemikian rupa untuk memantapkan posisi di benak rakyat tanpa mempertimbangkan logika atau penalaran sesuai fakta di lapangan.

Demikian pula dengan “Kontes” Pemilihan Presiden-Wakil Presiden RI periode 2009 – 2014. Ketiga pasang kontestan berlomba-lomba menyajikan data dan fakta yang mendukung klaim keberhasilan sembari menegaskan kegagalan lawan politiknya.

Tulisan ini hanya akan melihat klaim keberhasilan dari salah satu sisi yaitu Klaim keberhasilan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu pasangan capres-cawapres mengetengahkan isu keberhasilan pemberantasan Tipikor sebagai salah satu bukti nyata hasil karyanya. Tentu saja tulisan ini tidak bermasuk mendukung salah satu pihak ataupun merendahkan pihak lain. Tulisan ini hanya sebagai urun rembuk membuka cakrawala berpikir sembari melihat persoalan apa adanya dan bukan ada apanya.

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia menjadi hal yang luar biasa. Tercatat setidaknya ada tujuh institusi yang bekerja dengan esensi Pemberantasan Tipikor. Institusi itu adalah : KPK, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, BPK, BPKP dan Bawasda. Belum terhitung institusi atau bagian institusi yang cakupan tugasnya juga terkait seperti Bea Cukai, Perpajakan dan Inspektorat Jenderal. Atau bahkan organisasi swadaya masyarakat yang juga memusatkan perhatian pada isu ini seperti ICW, LBH, Government Watch dll.

Anehnya, jumlah institusi yang sedemikian banyak itu ternyata tidak menjamin berkurangnya kuantitas dan kualitas Tindak Pidana Korupsi. Ia menjadi seperti kanker ganas yang jika diamputasi satu bagian akan membuat bagian lain beranak pinak, sehingga menimbulkan pertanyaan dari para pengamat asing, apakah korupsi di Indonesia lebih diakibatkan sistem ataukah mental warganya yang korup ?

Kembali ke inti tulisan ini, dari ketujuh institusi pemberantas korupsi, hanya Kejaksaan, Kepolisian, BPKP dan Bawasda yang merupakan institusi underbow Pemerintah (Eksekutif). Disebut underbow karena mekanisme penganggaran dan penentuan pimpinannya masih bersifat patron yang ditunjuk oleh Pemerintah. Penentuan pimpinan ini menimbulkan kesan bahwa institusi-institusi tersebut dengan mudah dapat dikendalikan oleh Pemerintah termasuk dalam penentuan kebijakan dan strategi pemberantasan Tipikor.

Sesuai Tupoksi dalam Undang-Undang yang mengatur masing-masing institusi tersebut tidak ada satupun kalimat yang menyatakan bahwa Pemerintah dapat mengintervensi kebijakan yang diambil demi kepentingan pihak tertentu, sehingga pendapat orang awam bahwa Pemerintahlah yang berada di balik setiap pengambilan kebijakan dalam penuntasan Tindak Pidana Korupsi terbantahkan dengan sendirinya.

Lalu, siapakah yang berhak mengklaim berhasil dalam penuntasan agenda pemberantasan korupsi di negara ini ? Jawabannya sederhana, masyarakat. Berbagai peningkatan kinerja institusi penegak hukum banyak yang lahir karena adanya tekanan dari masyarakat. Tekanan publik juga muncul dalam pembentukan KPK dan Pengadilan Tipikor. Masyarakat jualah yang senantiasa mengawal kinerja dan pelaksanaan tugasnya.

Olehnya itu, tulisan ini akan ditutup dengan sebait pertanyaan, dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, apa yang telah kita lakukan hingga kita dapat dengan pongah mengklaim keberhasilan tersebut lebih karena peranan kita ?

Jumat, 12 Juni 2009

Neo Scripta



Memulai itu sulit, bahkan bagi sebagian orang dianggap mustahil. Namun di dunia yang dinamis ini, memulai "apa saja" harus dilakukan untuk tidak tergilas oleh peradaban