Peter Parker dilanda kesedihan tiada
Kisah tersebut hanya terjadi dalam film. Peter Parker dalam cerita tersebut adalah tubuh biologis dari apa yang dikenal orang sebagai Spiderman (manusia laba-laba). Momen pencarian diri seperti itu lazim ditemukan dalam berbagai karya seni dari negara-negara barat. Setiap langkah besar ke depan selalu diawali dengan proses mempertanyakan diri dan sekitarnya. Hal itu perlu dilakukan sebagai batu loncatan (jumping stone) agar setiap loncatan ke depan berhasil dilakukan dengan akurasi dan keberhasilan sesuai prediksi.
Kisah Peter Parker tersebut terus menggelayuti pikiran ketika menyaksikan debat antara Pemohon, Termohon, Pihak yang berkepentingan dan Ahli dalam sidang Uji Materil UU KPK di Mahkamah Konstitusi pada Rabu 4 Nopember 2009. Walaupun hanya menyaksikan dari layar kaca sebuah televisi nasional (yang sering terputus oleh iklan) terdapat poin penting yang pantas menjadi perenungan bersama dan penting bagi perjalanan bangsa kita ke depan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menurut konsideran Undang-Undang KPK dibentuk atas dasar lemahnya kinerja dan kepuasan masyarakat atas dua institusi terdepan pemberantasan korupsi negeri ini, Kepolisian dan Kejaksaan. Meskipun tidak ada indikator atau angka-angka yang jelas sejauhmana kelemahan kinerja kedua lembaga tersebut, institusi KPK telah menjadi bagian dari sistem penegakan hukum kita.
KPK sering diidentikkan dengan lembaga super body. Ia memiliki kewenangan yang luar biasa sehingga mampu mengumpulkan kewenangan Polisi sebagai Penyidik dan kewenangan Jaksa sebagai Penuntut Umum. KPK juga berhak melakukan supervisi dan bahkan dapat mengambil alih penyidikan dan penuntutan dari tangan Polisi dan Kejaksaan. KPK tidak membutuhkan izin dari Pemerintah bila hendak memeriksa seorang pejabat publik atau izin dari Gubernur BI saat menelisik posisi dana seseorang dari berbagai lembaga keuangan.
Sampai pada titik itu tidak ada pertanyaan dari publik khususnya menyangkut berbagai kewenangan yang dimiliki KPK. Setiap upaya judicial review dari UU KPK oleh beberapa warga bangsa bahkan diartikan sebagai upaya para koruptor untuk memperlemah kinerja KPK yang sering diistilahkan Corruptor fights back. Bahkan berkembang pemikiran di masyarakat bahwa mempertanyakan kewenangan KPK adalah cerminan dari sikap yang tidak pro pada pemberantasan korupsi. Masyarakat telah terhegemoni dengan sederet keberhasilan penanganan kasus dan berita-berita positif yang sering dimuat oleh berbagai pemberitaan.
Secara obyektif, kita bangga pada KPK. Keberhasilan dan pencapaian dalam setiap langkah KPK adalah keberhasilan seluruh warga bangsa dalam memerangi perilaku tindak pidana korupsi. Sebagai sesuatu yang disebut ‘extra ordinary crime’, korupsi memang harus jadi musuh bersama seluruh masyarakat. Tentu saja kita semua tetap berharap KPK akan melanjutkan trend positif penegakan hukum di tahun-tahun mendatang.
Dalam harapan untuk keberhasilan KPK tersebutlah persidangan Mahkamah Konstitusi dengan bahasan judicial review Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK menjadi sangat penting. Persidangan tersebut sudah sampai pada tahap pembahasan norma yang sangat fundamental dalam hukum. Norma Praduga tak bersalah (The presumption of Innoncence).
Pemohon (pihak Bibit-Chandra) mendalilkan bahwa Pasal Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK telah menjadi pukulan berat bagi mereka karena penonaktifan tersebut sama artinya dengan menyatakan bahwa mereka telah bersalah sebelum perkara pokoknya disidangkan. Intinya, mereka beranggapan Norma Praduga tak bersalah dalam perkara mereka telah dicederai. Pemohon juga membandingkan Pasal tersebut dengan berbagai peraturan perundang-undangan lain yang pada pokoknya menegaskan bahwa pemberhentian baru dilakukan setelah ada putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Sedangkan pihak Menkumham selaku wakil Pemerintah menegaskan bahwa Pasal tersebut semata-mata dilakukan hanya untuk melindungi personel pimpinan KPK sekaligus menjaga institusi agar tetap terpelihara dari berbagai kemungkinan yang dapat menurunkan citra dan kewibawaan institusi.
Pihak ahli (Abdul Hakim Garuda Nusantara dan Rudi Satriyo) lebih banyak membahas perjalanan norma Praduga tak bersalah dalam berbagai sistem hukum, sejak mulai dari Magna Charta, Bill of Rights hingga ke Rancangan KUHP.
Dalam tulisan kecil ini tidak akan dibahas proposisi mana yang benar dan mana yang salah, sebagai penghargaan terhadap para pihak yang bersidang. Bagaimanapun para pihak tersebut adalah pendekar-pendekar hukum nasional yang telah lama
Demikian pula dengan saya sebagai masyarakat awam, cukuplah menunggu putusan Hakim sambil mengenang film Spiderman berikut hasil pencarian Peter Parker. Great power create a great responsibility. Kekuatan yang besar menciptakan tanggung jawab yang besar pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar