Sabtu, 13 Juni 2009

Klaim Keberhasilan

Upaya menuju kursi kekuasaan acap kali dilakukan dengan berbagai cara. Sejumlah klaim keberhasilan seringkali dimunculkan ke permukaan hanya untuk menegaskan diri sebagai pihak yang berada di baliknya. Uniknya, klaim-klaim itu dibuat sedemikian rupa untuk memantapkan posisi di benak rakyat tanpa mempertimbangkan logika atau penalaran sesuai fakta di lapangan.

Demikian pula dengan “Kontes” Pemilihan Presiden-Wakil Presiden RI periode 2009 – 2014. Ketiga pasang kontestan berlomba-lomba menyajikan data dan fakta yang mendukung klaim keberhasilan sembari menegaskan kegagalan lawan politiknya.

Tulisan ini hanya akan melihat klaim keberhasilan dari salah satu sisi yaitu Klaim keberhasilan tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Salah satu pasangan capres-cawapres mengetengahkan isu keberhasilan pemberantasan Tipikor sebagai salah satu bukti nyata hasil karyanya. Tentu saja tulisan ini tidak bermasuk mendukung salah satu pihak ataupun merendahkan pihak lain. Tulisan ini hanya sebagai urun rembuk membuka cakrawala berpikir sembari melihat persoalan apa adanya dan bukan ada apanya.

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia menjadi hal yang luar biasa. Tercatat setidaknya ada tujuh institusi yang bekerja dengan esensi Pemberantasan Tipikor. Institusi itu adalah : KPK, Kejaksaan, Kepolisian, Pengadilan, BPK, BPKP dan Bawasda. Belum terhitung institusi atau bagian institusi yang cakupan tugasnya juga terkait seperti Bea Cukai, Perpajakan dan Inspektorat Jenderal. Atau bahkan organisasi swadaya masyarakat yang juga memusatkan perhatian pada isu ini seperti ICW, LBH, Government Watch dll.

Anehnya, jumlah institusi yang sedemikian banyak itu ternyata tidak menjamin berkurangnya kuantitas dan kualitas Tindak Pidana Korupsi. Ia menjadi seperti kanker ganas yang jika diamputasi satu bagian akan membuat bagian lain beranak pinak, sehingga menimbulkan pertanyaan dari para pengamat asing, apakah korupsi di Indonesia lebih diakibatkan sistem ataukah mental warganya yang korup ?

Kembali ke inti tulisan ini, dari ketujuh institusi pemberantas korupsi, hanya Kejaksaan, Kepolisian, BPKP dan Bawasda yang merupakan institusi underbow Pemerintah (Eksekutif). Disebut underbow karena mekanisme penganggaran dan penentuan pimpinannya masih bersifat patron yang ditunjuk oleh Pemerintah. Penentuan pimpinan ini menimbulkan kesan bahwa institusi-institusi tersebut dengan mudah dapat dikendalikan oleh Pemerintah termasuk dalam penentuan kebijakan dan strategi pemberantasan Tipikor.

Sesuai Tupoksi dalam Undang-Undang yang mengatur masing-masing institusi tersebut tidak ada satupun kalimat yang menyatakan bahwa Pemerintah dapat mengintervensi kebijakan yang diambil demi kepentingan pihak tertentu, sehingga pendapat orang awam bahwa Pemerintahlah yang berada di balik setiap pengambilan kebijakan dalam penuntasan Tindak Pidana Korupsi terbantahkan dengan sendirinya.

Lalu, siapakah yang berhak mengklaim berhasil dalam penuntasan agenda pemberantasan korupsi di negara ini ? Jawabannya sederhana, masyarakat. Berbagai peningkatan kinerja institusi penegak hukum banyak yang lahir karena adanya tekanan dari masyarakat. Tekanan publik juga muncul dalam pembentukan KPK dan Pengadilan Tipikor. Masyarakat jualah yang senantiasa mengawal kinerja dan pelaksanaan tugasnya.

Olehnya itu, tulisan ini akan ditutup dengan sebait pertanyaan, dalam kaitannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, apa yang telah kita lakukan hingga kita dapat dengan pongah mengklaim keberhasilan tersebut lebih karena peranan kita ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar